BIDAYATUL MUJTAHID
(JILID 2)
A.
HUKUM QURBAN DAN ORANG YANG WAJIB QURBAN
1.
Bagaimana
hukum kurban itu?
Para ulama berbeda pendapat akan hal ini. Berikut adalah pendapat
dari beberapa ulama tentang hukum kurban.
a.
Menurut
Imam Malik dan Imam Syafi’i hukum kurban adalah sunnah muakkad (sunnah
yang dipentingkan) dan makruh bagi yang mampu berkurban tetapi tidak melaksanakannya.
b.
Menurut
Mazhab Hanafi, ibadah kurban hukumnya wajib dilakukan sekali dalam setahun. Abu
Hanifah mendasari pendapatnya dengan firman Allah “maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmmu dan berkurbanlah.” Perintah shalat dan berkurban dalam ayat ini
dipandang oleh abu Hanifah sebagai perintah wajib.
c.
Mazhab
Hanbali, mengatakan bahwa kurban hukumnya wajib, tetapi hukum tersebut dapat
berubah menjadi sunat ,apabila kurban dilaksanakan oleh orang orang yang kurang
berkemapuan selagi tidak ada niat nazar dalam pelaksanaan kurbanya.
Dari
perbedaan pendapat para Imam Mazhab di atas, pendapat yang lebih rajih (kuat)
untuk diamalkan adalah pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa kurban
hukumnya sunat, dengan alasan selain dari dalil yang dikemukakan di atas,
ibadah kurban berkaitan ibadah maliah (harta) yang dituntut pelaksanaanya
berdasarkan kemampuan.
2.
Siapa
saja orang yang wajib kurban.
Hukum menyembelih kurban menurut madzhab Imam Syafi’i dan jumhur
ulama’ adalah sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan. Sunnah di sini ada dua
macam, yaitu: Pertama, sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang
mampu (sunnah ‘ainiyah). Kedua, disunnahkan dilakukan oleh sebuah
keluarga dengan menyembelih 1 atau 2 ekor untuk semua keluarga yang ada di
dalam rumah.
Terdapat perbedaan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang
orang-orang yang wajib kurban, yaitu jika menurut Imam Malik orang yang sedang
melaksanakan haji diperbolehkan tidak berkurban. Sedangkan menurut Imam Syafi’i
tidak ada perbedaan antara orang yang sedang melaksanakan haji maupun yang
tidak melaksanakan haji, dalam arti tetap dibebani hukum kurban.
Menurut Abu Hanifah kurban hukumya wajib bagi orang yang mampu dan
tidak dalam perjalanan (musafir). Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, kurban
hukumnya tidak wajib.
Suatu saat Imam Malik berpendapat seperti Abu Hanifah. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a.
Apakah
kuraban yang telah dilakukan Nabi Saw. itu menunjukkan wajib atau sunat?
Nabi Saw. tidak
pernah meninggalkan kurban sama sekali walaupun dalam perjalanan, seperti yang
termuat dalam hadis Tsaubah yang berbunyi:
ذَهَبَ
رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُضْحِيَتَهُ ثُمَّ قَالَ:
يَا ثَوْبَانُ, أَصْلِحْ لَحْمَ هَذِهِ الضَّحِيَّةِ, قَالَ: فَلَمْ أَزَلْ أُطْعِمُهُ
مِنْهَا حَتَّى قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ ( أرجه مسلموالدارمي)
Artinya:”
Rasulullah Saw. telah menyembelih kurbannya lalu berkata:’Hai Tsauban! Rawat
daging kurban ini!’ Tsauban berkata:’ Saya selalu memakannya hingga tiba di
Madinah.”(HR. Muslim & Darimi)
b.
Karena
ada hadis yang dipahami beebeda, yaitu hadis Ummu Salamah bahwa Rasulullah Saw.
bersabda:
اِذَا
دَخَلَ الْعُشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذْ مِنْ
شَعْرِهِ شَيْأً وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ. ( أخرجه مسلم و أبو داود )
Artinya:”apabila
sudah tanggal 10, lalu seorang dari kamu sekalian ingin berkurban, janganlah
mengambil sedikitpun dari rambut dan kuku-kuku kurban itu.” (HR. Muslim dan Abu
Dawud)
Ungkapan ingin berkurban dalam hadis tersebut, bahwa kurban
tersebut tidak wajib.
Sedangkan perintah Rasulullah Saw. terhadap Abu Burdah agar
mengulangi kurbannya karena terlanjur disembelih sebelum shalat Idul Adha
menunjukkan hukum wajib.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa kurban itu tidak wajib. Ikrimah
berkata, “bahwa Ibnu Abbas mengutus saya dengan uang dua dirham agar saya
membeli daging. Dia berpesan bahwa siapa pun yang kau jumpai katakan kepadanya
bahwa ini kurban Ibnu Abbas.”
Diriwayatkan bahwa Bilal berkurban ayam jago. Riwayat Ikrimah dan
Bilal tersebut tidak bisa dijadikan dasar karena dha’if.
B.
MACAM-MACAM KURBAN, SIFAT, UMUR DAN JUMLAHNYA
1.
Macam
Hewan Kurban
Para ulama sepakat bahwa hewan kurban itu adalah unta, sapi, dan
kambing. Para ulama hanya berselisih pendapat tentang hewan mana yang
didahulukan untuk dijadikan kurban. Menurut Imam Malik, urutan hewan yang
didahulukan untuk dijadikan hewan kurban adalah kambing kibas, sapi lalu unta,
kebalikannya dari hadyu haji yaitu unta, sapi lalu kambing kibas. Menurut
Syafi’i, al-Asyhab, dan Ibnu Sya’ban urutannya adalah kambing kibas, sapi, lalu
unta.
Perbuatan tersebut disebabkan adanya pertentangan antara qiyas dengan
perbuatan rasulullah saw. Ada hadis yang menerangkan bahwa setiap kali Nabi
saw. berkurban selalu berupa kambing. Ini menunjukkan bahwa kambing lebih utama
dibanding sapi dan unta.
Namun terdapat juga hadis lain yang bertentangan dengan hadis di
atas, yaitu hadis Bukhari dari Ibnu Umar, Ia berkata yang berarti:
“Rasulullah saw, pernah menyembelih kurban di tempat shalat”(HR. Nasa’i)
Qiyasnya adalah
karena kurban itu pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan hewan, maka
standar hewan yang digunakan adalah hewan yang disembelih dalam haji.
Syafi’i mendasarkan pendapatnya pada
hadis Nabi saw. yang bersifat umum, sebagai berikut yang berarti:
“Barangsiapa pergi (untuk shalat
jum’at) waktu pertama, seolah berkurban seekor unta, barangsiapa pergi pada
waktu kedua seolah berkurban seekor sapi, barangsiapa pergi pada waktu ketiga
seolah berkurban seekor kambing.”(HR.
Bukhori dan Muslim)
Maka seharusnya standarnya adalah nilai hewan nya.
Malik mengatakan bahwa urutan dalam
hadis di atas khusus untuk sembelihan haji agar tidak terjadi pertentangan
dengan hadis lain, yang dijadikan dasar oleh Malik tentang kurban dengan urutan
kambing, sapi, lalu unta.
Dengan demikian, maka yang lebih
diutamakan adalah pendapat dari Imam Syafi’i. Semua ulama juga berpendapat
bahwa tidak boleh berkurban dengan selain kambing, sapi, dan unta kecuali
al-Hasan bin Shalih yang memperbolehkan kurban banteng untuk tujuh orang dan
kijang untuk seorang.
2.
Kurban
yang Cacat
Menurut ijmak ulama, kurban yang harus dihindari adalah hewan yang
pincang dan sakit yang kentara serta hewan kurus yang tidak bersum-sum
tulangnya.
Ada dua hal yang diperselisihkan oleh para ulama yaitu:
a.
Cacat
yang melebihi ketentuan nash dan hadis. Menurut jumhur ulama hewan cacat yang
melebihi ketentuan Nash dan Nabi saw harus dihindari. Namun hal tersebut boleh
menurut Zhahiri
b.
Cacat
yang senilai dengan apa yang disebutkan dalam nash dan hadis, namun wujudnya berbeda
seperti di telinga dan sebagainya. Dalam hal ini ada tiga pendapat sebagai
berikut: 1) Hukumnya sama dengan cacat yang termasukdalam nash, yakni
terlarang. 2) Sunnat dihindari, namun tidak terlarang. 3) Tidak terlarang dan
tiak sunnat dihindari.
3.
Umur
Hewan Kurban
Jumhur ulama menetapkan bahwa tidak boleh berkurban dengan anak
kambing yang bukan domba, kecuali bila sudah berumur dua tahun atau lebih. Jika
ada anak domba berusia satu setengah tahun menurut jumhur ulama boleh, namun
ada juga sebagian jumhur ulama menentangnya.
4.
Hitungan
Kurban
Menurut Malik, seseorang boleh berkurban seekor kambing atau sapi
atau unta untuk dirinya sendiri dan keluarganya yang ditanggung nafkahnya,
demikian juga untuk sembelihan haji.
Menurut Syafi’i, Abu Hanifah dan segolongan ulama seekor sapi atau
unta boleh untuk kurban tujuh orang. Menurut Ijmak ulama seekor kambing hanya
untuk seorang saja, kecuali Malik yang memperbolehkannya untuk seorang dan juga
keluarganya, asalkan tidak iurang dalam membeli kurbannya.
C.
HUKUM SEMBELIHAN DAN HUKUM DAGING KURBAN
1.
Waktu
Sembelihan Kurban
Pokok bahasannya tentang waktu dan menyembelihnya. Tentang
waktunya, ada tiga hal yang diperselisihkan oleh para ulama:
a. Permulaan Sembelihan Kurban
Para ulama sepakat bahwa kurban tidak boleh diambil sebelum shalat
Idul Adha. Para ulama berbeda pendapat tentang kurban yang disembelih sesudah
shalat idul adha, dengan mendahului sembelihan yang ditentukan penguasa.
Menurut Malik, seseorang tidak boleh menyembelih kurbannya
mendahului sembelihan penguasa. Menurut Abu Hanifah dan Tsauri, boleh
mendahului sembelihan penguasa asalkan sesudah shalat idul adha.
b. Akhir dari Waktu Penyembelihan
Menurut Malik, seterunya tanggal 13 Dzulhijjah sebelum matahari
terbenam. Menurut Malik penyembelihan kurban itu pada hari raya itu sendiri
ditambah dua hari berikutnya. Menurut Abu hanifah, Ahmad, dan segolongan ulama
sama seperti pendapar Malik.
Menurut Syafi’i dan Auzi, waktu kurban itu selama tiga hari, yaitu
hari raya itu sendiri dan tiga hari berikutnya. Sebagian ulama berpendapat,
waktu kurban hanya sehari yaitu pada hari raya itu saja.
c. Menyembelih Kurban Pada Waktu Malam hari
Menurut Malik menyembelih kurban pada malam hari itu hukumnya tidak
boleh. Menurut Syafi’i dan segolongan ulama menyembelih hewan kurban pada waktu
malam hari itu boleh.
2.
Siapa
Penyembelih Kurban?
Menurut kesepakatan ulama, orang yang berkurban disunatkan
menyembelihnya sendiri, namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Jika
menyembelih tanpa seijin orang yang berkurban, para ulama berbeda pendapat;
sebagian ulama berpendapat tidak boleh. Namun sebagian yang lain berpendapat
bahwa kalau ada hubungan teman atau anak maka hukumnya boleh yang lain tidak
boleh.
3.
Hukum
Daging Kurban
Menurut kesepakatan ulama, orang yang berkurban diperintahkan
memakan sebagian daging kurbannya dan menyedekahkan sebagian yang lain,
berdasar pada firman Allah SWT yang artinya:
“Maka
makanlah sebagian darinya, dan sebagian yang lain berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara dan kafir.”(QS.
Al-Hajj: 26)
Dalam madzhab Malik terjadi perbedaan
pendapat tentang apakah perintah memakan daging kurban dan menyedekahkan
sebagian yang lain apakah itu untuk kedua-duanya ataukah perintah memilih salah
satunya? Mayoritas ulama menyunatkan dibagi tiga yaitu: 1/3 untuk disimpan, 1/3
untuk disedekahkan, dan 1/3 untuk dimakan.
Lalu selanjutnya, bolehkan hewan kurabn itu dijual?
Menurut
kesepakatan para ulama, dagingnya tidak boleh dijual. Yang boleh dijual adalah
seperti kulit, bulu, dll yang selain daging. Menurut Jumhur ulama semua bagian
hewan kurban tidak boleh dijual. Sedangkan menurut Abu Hanifah, boleh dijual
tapi tidak diuangkan, harus ditukar dengan benda-benda yang bermanfaat, karena
penukaran yang berwujud benda masih dalam batas ijmak, yakni pemanfaatan.
Menurut Atha’, selain dagingnya boleh
diuangkan atau ditukar dengan benda yang lebih bermanfaat.