Minggu, 08 Januari 2017

Bidayatul Mujtahid



BIDAYATUL MUJTAHID
(JILID 2)
 
A.           HUKUM QURBAN DAN ORANG YANG WAJIB QURBAN
1.      Bagaimana hukum kurban itu?
Para ulama berbeda pendapat akan hal ini. Berikut adalah pendapat dari beberapa ulama tentang hukum kurban.
a.       Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i hukum kurban adalah sunnah muakkad (sunnah yang dipentingkan) dan makruh bagi yang mampu berkurban tetapi tidak melaksanakannya.
b.      Menurut Mazhab Hanafi, ibadah kurban hukumnya wajib dilakukan sekali dalam setahun. Abu Hanifah mendasari pendapatnya dengan firman Allah “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmmu dan berkurbanlah.” Perintah shalat dan berkurban dalam ayat ini dipandang oleh abu Hanifah sebagai perintah wajib.
c.       Mazhab Hanbali, mengatakan bahwa kurban hukumnya wajib, tetapi hukum tersebut dapat berubah menjadi sunat ,apabila kurban dilaksanakan oleh orang orang yang kurang berkemapuan selagi tidak ada niat nazar dalam pelaksanaan kurbanya.

Dari perbedaan pendapat para Imam Mazhab di atas, pendapat yang lebih rajih (kuat) untuk diamalkan adalah pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa kurban hukumnya sunat, dengan alasan selain dari dalil yang dikemukakan di atas, ibadah kurban berkaitan ibadah maliah (harta) yang dituntut pelaksanaanya berdasarkan kemampuan.

2.      Siapa saja orang yang wajib kurban.
Hukum menyembelih kurban menurut madzhab Imam Syafi’i dan jumhur ulama’ adalah sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan. Sunnah di sini ada dua macam, yaitu: Pertama, sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu (sunnah ‘ainiyah). Kedua, disunnahkan dilakukan oleh sebuah keluarga dengan menyembelih 1 atau 2 ekor untuk semua keluarga yang ada di dalam rumah.
Terdapat perbedaan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang orang-orang yang wajib kurban, yaitu jika menurut Imam Malik orang yang sedang melaksanakan haji diperbolehkan tidak berkurban. Sedangkan menurut Imam Syafi’i tidak ada perbedaan antara orang yang sedang melaksanakan haji maupun yang tidak melaksanakan haji, dalam arti tetap dibebani hukum kurban.
Menurut Abu Hanifah kurban hukumya wajib bagi orang yang mampu dan tidak dalam perjalanan (musafir). Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, kurban hukumnya tidak wajib.
Suatu saat Imam Malik berpendapat seperti Abu Hanifah. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a.         Apakah kuraban yang telah dilakukan Nabi Saw. itu menunjukkan wajib atau sunat?
Nabi Saw. tidak pernah meninggalkan kurban sama sekali walaupun dalam perjalanan, seperti yang termuat dalam hadis Tsaubah yang berbunyi:

ذَهَبَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُضْحِيَتَهُ ثُمَّ قَالَ: يَا ثَوْبَانُ, أَصْلِحْ لَحْمَ هَذِهِ الضَّحِيَّةِ, قَالَ: فَلَمْ أَزَلْ أُطْعِمُهُ مِنْهَا حَتَّى قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ ( أرجه مسلموالدارمي)

Artinya:” Rasulullah Saw. telah menyembelih kurbannya lalu berkata:’Hai Tsauban! Rawat daging kurban ini!’ Tsauban berkata:’ Saya selalu memakannya hingga tiba di Madinah.”(HR. Muslim & Darimi)

b.        Karena ada hadis yang dipahami beebeda, yaitu hadis Ummu Salamah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

اِذَا دَخَلَ الْعُشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ شَيْأً وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ. ( أخرجه مسلم و أبو داود )
Artinya:”apabila sudah tanggal 10, lalu seorang dari kamu sekalian ingin berkurban, janganlah mengambil sedikitpun dari rambut dan kuku-kuku kurban itu.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Ungkapan ingin berkurban dalam hadis tersebut, bahwa kurban tersebut tidak wajib.
Sedangkan perintah Rasulullah Saw. terhadap Abu Burdah agar mengulangi kurbannya karena terlanjur disembelih sebelum shalat Idul Adha menunjukkan hukum wajib.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa kurban itu tidak wajib. Ikrimah berkata, “bahwa Ibnu Abbas mengutus saya dengan uang dua dirham agar saya membeli daging. Dia berpesan bahwa siapa pun yang kau jumpai katakan kepadanya bahwa ini kurban Ibnu Abbas.”
Diriwayatkan bahwa Bilal berkurban ayam jago. Riwayat Ikrimah dan Bilal tersebut tidak bisa dijadikan dasar karena dha’if.

B.            MACAM-MACAM KURBAN, SIFAT, UMUR DAN JUMLAHNYA
1.        Macam Hewan Kurban
Para ulama sepakat bahwa hewan kurban itu adalah unta, sapi, dan kambing. Para ulama hanya berselisih pendapat tentang hewan mana yang didahulukan untuk dijadikan kurban. Menurut Imam Malik, urutan hewan yang didahulukan untuk dijadikan hewan kurban adalah kambing kibas, sapi lalu unta, kebalikannya dari hadyu haji yaitu unta, sapi lalu kambing kibas. Menurut Syafi’i, al-Asyhab, dan Ibnu Sya’ban urutannya adalah kambing kibas, sapi, lalu unta.
Perbuatan tersebut disebabkan adanya pertentangan antara qiyas dengan perbuatan rasulullah saw. Ada hadis yang menerangkan bahwa setiap kali Nabi saw. berkurban selalu berupa kambing. Ini menunjukkan bahwa kambing lebih utama dibanding sapi dan unta.
Namun terdapat juga hadis lain yang bertentangan dengan hadis di atas, yaitu hadis Bukhari dari Ibnu Umar, Ia berkata yang berarti:
“Rasulullah saw, pernah menyembelih kurban di tempat shalat”(HR. Nasa’i)
Qiyasnya adalah karena kurban itu pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan hewan, maka standar hewan yang digunakan adalah hewan yang disembelih dalam haji.
Syafi’i mendasarkan pendapatnya pada hadis Nabi saw. yang bersifat umum, sebagai berikut yang berarti:
“Barangsiapa pergi (untuk shalat jum’at) waktu pertama, seolah berkurban seekor unta, barangsiapa pergi pada waktu kedua seolah berkurban seekor sapi, barangsiapa pergi pada waktu ketiga seolah berkurban seekor kambing.”(HR. Bukhori dan Muslim)
Maka seharusnya standarnya adalah nilai hewan nya.
Malik mengatakan bahwa urutan dalam hadis di atas khusus untuk sembelihan haji agar tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain, yang dijadikan dasar oleh Malik tentang kurban dengan urutan kambing, sapi, lalu unta.
Dengan demikian, maka yang lebih diutamakan adalah pendapat dari Imam Syafi’i. Semua ulama juga berpendapat bahwa tidak boleh berkurban dengan selain kambing, sapi, dan unta kecuali al-Hasan bin Shalih yang memperbolehkan kurban banteng untuk tujuh orang dan kijang untuk seorang.
2.        Kurban yang Cacat
Menurut ijmak ulama, kurban yang harus dihindari adalah hewan yang pincang dan sakit yang kentara serta hewan kurus yang tidak bersum-sum tulangnya.
Ada dua hal yang diperselisihkan oleh para ulama yaitu:
a.       Cacat yang melebihi ketentuan nash dan hadis. Menurut jumhur ulama hewan cacat yang melebihi ketentuan Nash dan Nabi saw harus dihindari. Namun hal tersebut boleh menurut Zhahiri
b.      Cacat yang senilai dengan apa yang disebutkan dalam nash dan hadis, namun wujudnya berbeda seperti di telinga dan sebagainya. Dalam hal ini ada tiga pendapat sebagai berikut: 1) Hukumnya sama dengan cacat yang termasukdalam nash, yakni terlarang. 2) Sunnat dihindari, namun tidak terlarang. 3) Tidak terlarang dan tiak sunnat dihindari.
3.        Umur Hewan Kurban
Jumhur ulama menetapkan bahwa tidak boleh berkurban dengan anak kambing yang bukan domba, kecuali bila sudah berumur dua tahun atau lebih. Jika ada anak domba berusia satu setengah tahun menurut jumhur ulama boleh, namun ada juga sebagian jumhur ulama menentangnya.
4.      Hitungan Kurban
Menurut Malik, seseorang boleh berkurban seekor kambing atau sapi atau unta untuk dirinya sendiri dan keluarganya yang ditanggung nafkahnya, demikian juga untuk sembelihan haji.
Menurut Syafi’i, Abu Hanifah dan segolongan ulama seekor sapi atau unta boleh untuk kurban tujuh orang. Menurut Ijmak ulama seekor kambing hanya untuk seorang saja, kecuali Malik yang memperbolehkannya untuk seorang dan juga keluarganya, asalkan tidak iurang dalam membeli kurbannya.

C.           HUKUM SEMBELIHAN DAN HUKUM DAGING KURBAN
1.      Waktu Sembelihan Kurban
Pokok bahasannya tentang waktu dan menyembelihnya. Tentang waktunya, ada tiga hal yang diperselisihkan oleh para ulama:
a.       Permulaan Sembelihan Kurban
Para ulama sepakat bahwa kurban tidak boleh diambil sebelum shalat Idul Adha. Para ulama berbeda pendapat tentang kurban yang disembelih sesudah shalat idul adha, dengan mendahului sembelihan yang ditentukan penguasa.
Menurut Malik, seseorang tidak boleh menyembelih kurbannya mendahului sembelihan penguasa. Menurut Abu Hanifah dan Tsauri, boleh mendahului sembelihan penguasa asalkan sesudah shalat idul adha.
b.      Akhir dari Waktu Penyembelihan
Menurut Malik, seterunya tanggal 13 Dzulhijjah sebelum matahari terbenam. Menurut Malik penyembelihan kurban itu pada hari raya itu sendiri ditambah dua hari berikutnya. Menurut Abu hanifah, Ahmad, dan segolongan ulama sama seperti pendapar Malik.
Menurut Syafi’i dan Auzi, waktu kurban itu selama tiga hari, yaitu hari raya itu sendiri dan tiga hari berikutnya. Sebagian ulama berpendapat, waktu kurban hanya sehari yaitu pada hari raya itu saja.
c.       Menyembelih Kurban Pada Waktu Malam hari
Menurut Malik menyembelih kurban pada malam hari itu hukumnya tidak boleh. Menurut Syafi’i dan segolongan ulama menyembelih hewan kurban pada waktu malam hari itu boleh.

2.      Siapa Penyembelih Kurban?
Menurut kesepakatan ulama, orang yang berkurban disunatkan menyembelihnya sendiri, namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Jika menyembelih tanpa seijin orang yang berkurban, para ulama berbeda pendapat; sebagian ulama berpendapat tidak boleh. Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa kalau ada hubungan teman atau anak maka hukumnya boleh yang lain tidak boleh.

3.      Hukum Daging Kurban
Menurut kesepakatan ulama, orang yang berkurban diperintahkan memakan sebagian daging kurbannya dan menyedekahkan sebagian yang lain, berdasar pada firman Allah SWT yang artinya:
“Maka makanlah sebagian darinya, dan sebagian yang lain berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan kafir.”(QS. Al-Hajj: 26)
        Dalam madzhab Malik terjadi perbedaan pendapat tentang apakah perintah memakan daging kurban dan menyedekahkan sebagian yang lain apakah itu untuk kedua-duanya ataukah perintah memilih salah satunya? Mayoritas ulama menyunatkan dibagi tiga yaitu: 1/3 untuk disimpan, 1/3 untuk disedekahkan, dan 1/3 untuk dimakan.
Lalu selanjutnya, bolehkan hewan kurabn itu dijual?
Menurut kesepakatan para ulama, dagingnya tidak boleh dijual. Yang boleh dijual adalah seperti kulit, bulu, dll yang selain daging. Menurut Jumhur ulama semua bagian hewan kurban tidak boleh dijual. Sedangkan menurut Abu Hanifah, boleh dijual tapi tidak diuangkan, harus ditukar dengan benda-benda yang bermanfaat, karena penukaran yang berwujud benda masih dalam batas ijmak, yakni pemanfaatan.
        Menurut Atha’, selain dagingnya boleh diuangkan atau ditukar dengan benda yang lebih bermanfaat.